Minggu, 08 Mei 2011

SEJARAH KEKAISARAN SINGHASARI


Kerajaan Singhasari terletak di sebelah timur Gunung Kawi di hulu sungai Brantas Jawa Timur.Pada abad ke 13 Singhasari hanyalah sebuah desa kecil. Singhasari muncul dipermukaan sejarah awal abad ke-13 dilembah sungai Brantas sekitar kota Malang. Berdasarkan Prasasti Kudadu nama resmi Kerajaan Singhasari yang sesungguhnya ialah Kerajaan Tumapel. Menurut Nagarakretagama, ketika pertama kali didirikan tahun 1222, ibu kota Kerajaan Tumapel bernama Kutaraja.`

Sumber-sumber Sejarah

Keberadaan kerajaan Singosari dibuktikan melalui candi-candi yang banyak ditemukan di Jawa Timur yaitu daerah Singosari sampai Malang, juga melalui kitab sastra peninggalan zaman Majapahit yang berjudul Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang menjelaskan tentang raja-raja yang memerintah di Singosari serta kitab Pararaton yang juga menceritakan riwayat Ken Arok yang penuh keajaiban.
Kitab Pararaton isinya sebagian besar adalah mitos atau dongeng tetapi dari kitab Pararatonlah asal usul Ken Arok menjadi raja dapat diketahui. Diceritakan bahwa Batara Brahma sedang bermesraan dengan Ken Ndok di Ladang lelateng dan berpesan agar Ken Ndok jangan berkumpul lagi dengan suaminya. Larangan tersebut menyebabkan pisahnya hubungan Ken Ndok dengan suminya yang bernama Gajah Para. Ken Ndok kemudian pulang ke desa Pangkur dan Gajah Para pulang ke desa Campara. Konon 5 hari kemudian Gajah Para meninggal karena melanggar larangan Batara Brahma dan karena panasnya anak yang masih dalam kandungan Ken Ndok.


Pada saatnya Ken Ndok kemudian melahirkan bayi laki laki yang karena malunya bayi tersebut segera dibuang ke Kuburan. Pada malam harinya pencuri yang bernama lembong pergi kekuburan dan sangat terkejut melihat cahaya yang berpendaran yang berasal dari bayi yang sedang menangis. Karena kasihan Bayi tersebut kemudian dipungut oleh lembong dan diberi nama Ken Arok. Ken Arok tumbuh menjadi dewasa dan Kegemarannya adalah suka berjudi sehingga barang barang milik ayah angkatnya habis untuk dipakai berjudi. Hal tersebut menimbulkan kekesalan dalam diri Lembong sehingga mengusirnya dari rumah.


Ken Arok kemudian pergi dari rumah Lembong dan ditengah jalan bertemu dengan Bango Samparan , penjudi dari desa Karuman dan diajak ke tempat perjudian. Dalam perjudian tersebut Bango samparan bernasib baik memenangkan perjudian dan Ken arok dianggap membawa keberuntungan bagi dirinya. Karena Istri tua Bango Samparan tidak mempunyai anak Ken Arok kemudian diangkat sebagai anak. Dirumah Bango Samparan Ken arok tidak bias bergaul dengan anak anak Tirtaja istri muda bango samaparan. Ken arok kemudian bergaul dengan Tita anak kepala desa Siganggeng.


Kenakalan Ken arok semakin bertambah yaitu selain berjudi dia juga berani merampok sehingga menimbulkan keresahan dikalangan penduduk Tumapel dan menjadi buruan Akuwu Tumapel. Namun demikian Ken arok selalu berhasil lolos dari bahaya berkat perlindungan dari Sang Hyang Brahma. Sementara itu orang orang Daha sudah mengetahui tempat persembunyian Ken arok di Turyantapada kemudian melakukan pengejaran. Ken Arok berhasil melarikan diri ke desa Tugaran kemudian ke gunung pustaka, dilanjutkan ke Desa Limbahan, dari desa Limbahan ke desa Rabut sampai akhirnya sampai di desa Panitikan.


Atas saran seorang nenek ken Arok kemudian bersembunyi di gunung Lejar. Dalam persembunyian tersebut Ken Arok mendengar keputusan para dewa yang mengatakan bahwa dirinyalah yang ditakdirkan akan menguasai Pulau Jawa.


Arca Peninggalan Kerajaan Singhasari

Pada suatu hari Ken Arok bertemu seorang brahmana dari India bernama Lohgawe, yang datang ke tanah Jawa mencari titisan Wisnu. Ciri-cirinya yaitu rajah telapak kanannya yaitu Cakra dan tangan kirinya bertanda tutup kerang. Dari ciri ciri yang ditemukan pada diri Ken Arok , Lohgawe yakin kalau Ken Arok adalah orang yang dicarinya.

Pesan ini didengar oleh Brahmana Lohgawe pada saat akan melaksanakan pemujaan kepada dewa Wisnu di suatu candi. Dengan jelas didengarkan bahwa Dewa Wisnu tidak ada lagi di pemujaan tetapi telah menitis pada orang yang bernama Ken Arok dari Pulau Jawa. Ia diperintahkan mencarinya di perjudian. Ken Arok kemudian dibawa oleh Brahmana Lohgawe menemui akuwu Tumapel.
Tumapel merupakan salah satu daerah bawahan Kerajaan Kadiri. Akuwu (camat) Tumapel saat itu bernama Tunggul Ametung. Atas bantuan Lohgawe, Ken Arok dapat diterima bekerja sebagai pengawal Tunggul Ametung


Tunggul Ametung memiliki seorang istri cantik bernama Ken Dedes. Ken dedes adalah anak pendeta Budha dari Desa Panawijen bernama Empu Purwa. Konon ketika Tunggul Ametung datang ke desa Panawijen untuk melamar Ken dedes, Empu Purwa sedang bertapa. Karena tidak kuat menahan nafsunya Ken dedes kemudian dilarikan ke Tumapel dijadikan istri. Ketika empu Purwa pulang dari pertapaan dan mendapatkan putrinya sudah tidak ada lagi Empu Purwa kemudian menjatuhkan kutukan “ semoga yang melarikan anak saya tidak akan selamat hidupnya, semoga mati kena tikam keris “ Penduduk desa Panawijen juga tidak luput dari kutukan empu Purwa karena enggan memberitahukan peristiwa pelarian anaknya oleh Tunggul Ametung. Desa Panawijen dikutuk supaya sumber air dan sumur di desa tersebut kering.

Peta Wilayah Kekuasaan Kerajaan Singhasari

Ketika Ken Arok tiba di Tumapel, Kendedes sedang mengandung, bersama suaminya Ken dedes pesiar ke Taman Baboji. Waktu turun dari kereta kain Kendedes tersingkap dari betis sampai pahanya. Dari kemaluan Ken Dedes keluar cahaya. Peristiwa tersebut diceritakan kepada Brahmana Lohgawe. Jawab Lohgawe bahwa wanita yang rahasianya menyala adalah wanita waneswari dimana keturunannya akan menjadi raja besar. Dalam Pararaton dijelaskan sebagai berikut :

Kendedes tumurun saking padati,Katuwon pagewening widhi kengis wentisira Kengkap tekeng rahasyanira Neberkaton murub denira ken arok Langira danghyang Lohgawe Yen hana stri mangkana iku stri nariswari arane Yadnyaningwong papa angalapa ring wong wadon iku Dadi ratu anakrawati …. (Pararaton)


Ketika Kendedes turun dari keretanya Ada angin semilir hingga membuat betisnya terlihat Terbuka hingga ke “rahasianya” Dan terlihat menyala oleh Ken Arok Dijawab oleh pendeta Lohgawe Jika ada wanita dengan nyala seperti itu disebut nariswari Jika ada orang bisa mengawininya, walaupun dia berdosa, Kelak dia akan menjadi raja besar Mendengar hal tersebut Ken Arok lalu terdiam, timbul niat Ken Arok untuk membunuh Tunggul Ametung namun Brahmana Lohgawe tidak setuju. Ken Arok kemudiian minta ijin untuk mengunjungi ayah angkatnya yaitu Bango Samparan dan menceritakan peristiwa yang dialaminya dan rencana yang akan dilaksanakan.


Bango Samparan kemudian memperkenalkan Ken Arok pada sahabatnya yang bernama Mpu Gandring dari desa Lulumbang. Ia seorang ahli dalam membuat pusaka ampuh. Ken arok kemudian memesan keris dan memberi batas waktu 5 bulan supaya keris tersebut selesai dibuat, Empu Gandring minta waktu selama setahun agar pembuatan keris tersebut sempurna. Namun Ken arok tetap bersikukuh lalu pergi.


Lima bulan kemudian ken Arok datang ke desa Lulumbang menagih keris pesanannya, namun keris tersebut masih di gurinda. Karena marahnya keris tersebut lalu direbut dan ditikamkan ke Empu Gandring. Sementara itu Empu ganding yang sedang sekarat kemudian mengeluarkan kutukan “ hai Arok kamu dan tujuh keturunanmu akan mati oleh keris itu juga”


Kembali ke Tumapel, Ken Arok menjalankan rencana liciknya. Mula-mula ia meminjamkan keris pusakanya pada Kebo Hijo, rekan kerjanya sesama pengawal. Ketika melihat keris Ken Arok yang berukirkan kayu Cangkring, Kebo Hijo minta dipinjamkan keris tersebut. Kebo Hijo lalu memamerkan keris itu sebagai miliknya ke semua orang yang ia temui.


Ken Arok menduga bahwa saat yang dinanti nantikan telah tiba. Pada malam berikutnya, Ken Arok mencuri keris pusakanya dari tangan Kebo Hijo yang sedang mabuk arak. Ia lalu menyusup ke kamar tidur Tunggul Ametung dan membunuh majikannya itu. Ken Dedes menjadi saksi pembunuhan suaminya. Namun ia luluh pada rayuan Ken Arok. Lagi pula, Ken Dedes menikah dengan Tunggul Ametung didasari rasa keterpaksaan. Pagi harinya, Kebo Hijo dihukum mati karena kerisnya ditemukan menancap di mayat Tunggul Ametung. Ken Arok lalu menjadi akuwu baru di Tumapel dan menikahi Ken Dedes. Saat itu Ken Dedes sedang mengandung anak Tunggul Ametung.


Sepeninggal Tunggul Ametung, Ken Arok menjadi Akuwu di Tumapel dan mengawini Ken Dedes, diantara orang Tumapel tidak seorangpun yang berani menentangnya. Sejak Ken Arok menjadi akuwu di Tumapel semua penduduk disebelah timur Gunung Kawi segan kepadanya. Kekuasaan dan kewibawaannya semakin hari semakin besar. Dalam kekedudukannya sebagai akuwu di Tumapel Ken Arok tidak melupakan orang orang yang telah berbuat baik kepadanya, Mereka diberikan tanda jasa diantaranya Bango Samparan dari Karuman, Empu Palot dari Turiyantapada, Anak dari Empu Gandring dari Lulumbang, Anak pendeta Lohgawe semuanya diundang untuk menetap di Tumapel dan menetap disekeliling Ken Arok. Anak Kebo Hijo yang bernama Kebo Randi dijadikan pekatik

Keturunan Tunggul Ametung

Pararaton kemudian mengisahkan sepeninggal Tunggul Ametung, Ken Arok menikahi Ken Dedes serta mengangkat dirinya sebagai akuwu Tumapel. Waktu itu, Ken Dedes tengah mengandung bayi hasil perkawinannya dengan Tunggul Ametung, yang setelah lahir diberi nama Anusapati. Peristiwa tersebut terjadi tahun saka 1104 atau tahun 1182 Masehi.


Apabila kisah dalam Pararaton ini dicermati, maka akan diperoleh gambaran bahwa Ken Dedes merupakan saksi mata pembunuhan Tunggul Ametung. Anehnya, ia justru bersedia dinikahi oleh pembunuh suaminya. Hal itu membuktikan kalau Ken Dedes dan Ken Arok sebenarnya saling mencintai. Perlu diingat pula kalau Ken Dedes menjadi istri Tunggul Ametung setelah dirinya diculik oleh akuwu Tumapel tersebut. Jadi pernikahan pertama Ken Dedes mengandung unsur keterpaksaan.


Pararaton melanjutkan bahwa Anusapati kemudian berhasil membunuh Ken Arok melalui tangan pembantunya, dan kemudian ia menjadi raja Singhasari yang kedua. Ia kemudian menurunkan raja-raja selanjutnya, seperti Wisnuwardhana dan Kertanagara. Raden Wijaya pendiri Majapahit memang bukan keturunan Tunggul Ametung. Tetapi istrinya, yaitu Gayatri adalah putri Kertanagara. Dari rahim Gayatri inilah lahir Tribhuwana Tunggadewi yang kemudian menjadi raja wanita pertama di Majapahit, yang juga menurunkan raja-raja selanjutnya, seperti Hayam Wuruk dan Wikramawardhana. Jika apa yang ditulis dalam Pararaton itu benar, maka dapat dikatakan kalau Tunggul Ametung adalah leluhur raja-raja Singhasari dan Majapahit.

Runtuhnya Kerajaan Kadiri dan Berdirinya Kerajaan Tumapel

Pada tahun 1222 terjadi perselisihan antara Kertajaya raja Kadiri dengan para pendeta Siwa-Budha. Raja meminta agar pendeta Siwa-Budha menyembah dirinya. Keinginan Prabu Kertajaya ditolak oleh para pendeta karena belum pernah ada seorang pendeta menyembah raja. Untuk memperlihatkan kesaktiannya Prabu kertajaya lalu menancapkan tombaknya ditanah dan duduk diatas ujungnya. Namun para pendeta tetap pada pendiriaannya dan pindah pindah ke Tumapel meminta perlindungan Ken Arok. Kertajaya mengaku tidak ada yang bisa mengalahkan dirinya, kecuali Bhatara Siwa. Mendengar sesumbar itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Siwa dan siap memerangi Kertajaya.


Saya dengar di Daha sebentar lagi diselenggarakan pesta?. Seorang jangga muda bertanya pada resi. Ya, sang Prabu Dandanggendis akan menggelar hajatan. Beliau mengundang seluruh pandeta, resi dan pujangga dari pelosok negri jajahannya. Daha (Ndoho, kini sebuah wilayah kecil saja di kabupaten Kediri). Di atas lembaran lontar tertuliskan, sang Prabu mengharap kehadirian mereka pada upacara tersebut. Wakil-wakil kalangan bawah pun didatangkan. Dalam benak para resi, pandita dan jangga membawa misteri berbeda-beda. Ada apa gerangan sang Prabu tiba-tiba menyebarkan undangan bertintakan emas (?).

Ada menyangka ini jelas perintah maha penting dan dirahasiakan. Pun pula ada mengira sang Prabu sedang sakit. Kepura-puraan mengundang agar tak diketahui halayak masyarakat, dan diharap para pandita sudi menyalurkan dayadinaya demi kepulihannya. Undangan telah disebar, tanggal waktu sudah ditetapkan. Tak pelak takdir tergariskan. Para pandeta, resi, pujangga datang menghadap Raja. Ada membawa pengawal bertubuh tegap nan kekar, pula bersama para abdi kepercayaan. Dan tak ketinggalan juru tulis dihadirkan demi kekalkan berita yang kan terjadi. Ada juga kedatangannya menyamar sebagai pengemis atau petani. Sehingga banyak rakyat jelata tiada tahu, yang tengah berjalan menuju ibukota Daha ialah pandita.


Para undangan sudah berkumpul di bawah kaki kuasa Raja. Dengan sigap Prabu Dandanggendis memberi sambutan singkat nan padat. Intinya merasa jaya nan dikjaya. Segala kelebihan ilmunya dipamerkan kepada hadirin. Mereka melongo menyaksikan linuwihnya. Lantas beliau berkata: aku telah memerintah kerajaan ini cukup lama tak tergoyahkan. Adakah di antaramu tak tunduk menyembah kepadaku. Rajamu yang baik serta bijak mulia ini. Wahai para pandita, resi, pujangga dan para hadirin kepercayaanku. Dalam ajaran kita, apakah sebab kalian tak mau menyembah kepadaku. Padahal aku tiada bedanya dengan Bathara Guru. Anggapan berlebih kepada diri sendiri, sering kali mencipta bumerang.


Para hadirin semuanya gusar, mau menentang takut kuku-kuku kuasa Raja. Jika menyetujui berarti membohongi bathin sendiri. Lantas salah seorang pandita berkata: “duh baginda Raja, selamanya belum pernah ada pandita menyembah raja.” “dulu memang belum pernah ada, sekarang kalian harus menyembah kepadaku.” tegar ucapan sang Raja.


Para hadirin terdiam. Sang Prabu mencium gelagat hal itu sambil menantang bersuara lantang: kalau kalian ragu yang saya maksud, cobalah semua maju melawan diriku? Seakan serentak, ruang pendapa itu makin lama kian hening tak bergeming, seolah tiada makluk hidup. Seekor semut pun tak berani beranjak dari tempatnya. Prabu Dandanggendis merupakan raja disegani kala itu, bala tentaranya gagah pemberani, para prajuritnya patuh menjunjung tinggi titah Raja.


Kisah Dandanggendis ini menyerupai Firaun dan lebih, sebab dirinya secara sadar menganggap tuhan tanpa kemabukan kuasa berlebihan. Ingin mendapati kepala-kepala orang bersujud di hadapannya. Suara pendapa kedaton Daha hening suwong. Sang Raja bolak-balik mengelilingi para hadirin yang dipercayakan dapat mendaulat dirinya menjelma Bathara Guru. Langkah-langkah berwibawanya menyiutkan nyali pendengaran.
Tiada bisik-bisik kesepakatan di antara pandita, resi dan jangga. Serentak sukma mereka disentakkan kuasa dinaya tenaga sang Prabu dengan sangat kuat. Setelah ruangan berhasil dikuasa sang Prabu. Ia tersenyum lebar, tawanya menggema, meruntuhkan kembali mental-mental tak pernah diasah keberanian. Sangat puas hati Raja, lantas meminta para hadirin benar-benar bersujud dihadapan kakinya. Lantai marmer pendapa bergetaran, atas jiwa Raja tak tertandingi sebab niatannya manunggal tak tergoyahkan.


Setelah dirasa cukup, para hadirin diperkenankan pulang ke negri masing-masing. Mengabarkan sang Raja sudah menjelma tuhan alam semesta. Namun tak demikian bathin semua undangan, sepulang dari gardu istana. Langkah demi langkah hati mereka berhianat, jujur kepada kalbunya bahwa seorang pandita, resi dan jangga taklah bersujud kepada seorang Raja.


Sejak lama para pandita, resi dan pujangga Daha telah mendengar kabar. Bahwa di daerah Tumapel yang berubah nama Singosari (daerah sebelum memasuki kota Malang, sekarang menjadi kota kecil saja). Ada seorang raja yang berwibawa dan disegani, bergelar Sri Rajasa. Alam pertanian palawija serta rerumputan padi, juga perdagangan di wilayah tersebut makmur, seolah Dewata memberi restu sentausa bagi tahtanya selamanya.
Tak jauh dari perbatasan kota Daha, para undangan sang Prabu mengurungkan langkah ke negri masing-masing. Bathin mereka menyerahkan kepercayaan kepada penguasa Singorasi, sebagai pulung selanjutnya. Sebagian besar mereka menuju Singosari guna menghadap Rajasa. Yang awal kelahirannya bernama Ken Angrok (Ken Arok).


Setelah para pandita, resi dan pujangga kerajaan Daha bersepakat ke Singorasi, berangkatlah mereka. Ken Angrok sebelum menjadi raja ialah sosok begundal. Perampok tersohor, penjudi ulung, penyabung ayam kawakan, juga pemetik bunga pinggir jalan. Suatu kali ia memiliki seekor ayam jantan, si jago itu amat kesohor, banyak ayam jago lawan-lawannya lari pecirit tunggang langgang, disamping banyak pula berpulang cacat oleh ulahnya. Ayam pemberani Angrok itu sempat melegenda, sebab mati di tengah gelanggang. Ia bertarung dengan keseluruhan jiwa-raga untuk sang tuannya, sampai darah penghabisan. Tak seperti ayam-ayam jago lain yang lari ketakutan, keok sebelum temukan ujung sekarat.


Hidupnya Angrok waktu itu tak ubahnya para brandal, boros dan ugal-ugalan. Ludes uang hasil judi menjadikan ia sosok perampas, merampok para sodagar yang melewati hutan, tempat ia menanti antrian nasib naas yang ditunggunya. Di tempat itu, ia memiliki cerita menarik. Pernah ada seorang tua melewati hutan itu dan menyapa kepada Angrok: Nak, katanya melewati hutan ini membahayakan.
Bisakah anaknda membatu saya dalam perjalanan pulang? Angrok tersenyum, diantarnya orang itu sampai kediamannya. Jalan hidup manusia memang sulit ditebak, selalu berkelok memasuki ruang-ruang jiwa. Tak seorang pun memahami pribadi yang lain secara peka nan juntrung.


Insan yang berilmu pengalaman, ketika dinaikkan drajatnya menjadi penguasa. Jawabannya ialah makin serakah, atau loman kepada rakyatnya. Dan Angrok memilih jalan kedua. Seakan telah kenyang perbuatan angkara murka, sudah puas mengumbar hawa nafsunya. Atau telah insaf, sebab ulahnya dikala merebut kekuasaan secara paksa. Atas hasratnya merampas cerlang cahaya nareswari dari selangkangan Ken Dedes. Sewaktu Tunggul Ametung terkena sirep (ilmu sihir menidurkan musuh), dan tertikam keris Gandring atas Angrok. Ia kubur dalam-dalam watak beringas. Di hadapkan wajah santun kasih sayangnya kepada rakyat, serupa mukanya memandang kekasih-kasihnya, Ken Dedes dan Ken Umang.


Saat para jangga, resi dan pandita sampai ke kota Singosari. Sungkemlah rombongan tersebut memberi dukungan dengan alasan kemakmuran negara. Juga menangkal suara-suara hitam kekuasaan pusat yang ada di Daha. Lama-lama kabar itu tercium sang Prabu. Dengan lantang Prabu Dandanggendis berkoar: Tiada yang bisa melawan aku, kecuali Batara Guru turun sendiri dari suralaya (kahyangan).
Gema suara keangkuhan itu ditangkap telik sandi Singosari, dan dihaturkan kepada Sri Rajasa Sang Amurwabumi. Dengan bernaluri keyakinan, Ken Angrok meminta restu kepada para pandita, resi dan jangga yang setia mendukungnya. Untuk mengangkatnya bergelar Sang Hyang Caturbuja atawa Batara Guru. Sebagai usaha memantabkan mental lewat mitos, bahwa manusia sanggup menjelma apa saja. Demi meloloskan takdirkan melewati usaha sungguh membathin, dengan sekuat dinayanya.


Alam telah siap menunggu goncangan, bulan matahari memberi kesaksian yang kan dilewatinya penuh awan-gemawan mensejarah. Burung-burung berkabar ke negeri-negeri jauh. Gerak bathin anak manusia, dan alam tertunduk menerima takdirnya.


Dandanggendis mulai gemetar ketika mendengar para resi, pandita juga pujangganya telah merestui sang Rajasa dengan gelar Batara Guru. Hanya umpat pedas nan tajam yang keluar dari mulut sang Prabu. Hal itu tak disia-siakan Angrok. Ketika keangkuhan mental peperangan terpancing, magnit saling tarik kekuatan, atau terlempar jauh dari lawannya. Niat ibarat magnit, sanggup menarik jarum di dekatnya. Dan bisa menggetarkan lempeng besi walau mata tak melihatnya.


Angrok bersama suara alam langit menggemuruh kekuatan bumi merapatkan barisan. Para tentaranya yang digembleng langsung olehnya, sudah terlatih menghimpun pertahanan juga menyerang. Seperti disusupi arwah leluhur, para tentara itu menerjang berhamburan ke kota Daha. Ada menyusuri pinggiran sungai, menanjaki bukit dan tebing, menyusup laksana angin pada rerumputan. Pasukan Singosari dicegat bala tentara Daha di sebelah utara Ganter. Bertarung kikis prajurit kedua belah pihak habis-habisan, saling mengeluarkan kadikjayaan. Mungkin kehendak sejarah tuhan, panglima perang Daha tewas. Berhamburan anak-anak buahnya bagai bebatuan kali diterjang banjir bandang. Sebagian besar gelimpangan bak pohon pisang yang tanahnya digerus lupan air bengawan. Terhanyut mengikuti arus kekalahan sampai samudra penaklukan.


Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi di desa Ganter. Pada pertempuran tersebut Makesa Walungan dan Gubar Baleman hulubalang kerajaan kediri tewas dalam pertempuran, Pihak Kadiri kalah. Kertajaya melarikan diri, bersembunyi di dalam sebuah candi. Sejak saat itu Tumapel menjadi kerajaan baru yang merdeka. Ken Arok menjadi raja pertama dengan gelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabumi.

Arca Arca Peninggalan Jaman Singhasari

Ken Arok akhirnya berhasil mewujudkan ambisinya dan sejarah mencatatnya sebagai pendiri dinasti baru, Rajasa. Bahkan para raja-raja Singosari dan Majapahit selanjutnya berusaha menarik garis keturunan dengannya untuk mengesahkan status ke-raja-annya. Sebagai raja pertama Singosari maka Ken Arok menandai munculnya dinasti baru yaitu dinasti Rajasa atau dinasti Girindra untuk menambah pemahaman Anda tentang keturunan dinasti Rajasa, maka simaklah silsilah berikut ini:


Raja-raja Singhasari/ Tumapel versi Pararaton adalah:
1. Ken Arok alias Rajasa Sang Amurwabhumi (1222-1247)
2. Anusapati (1247-1249)
3. Tohjaya (1249-1250)
4. Wusnuwardhana (1250-1272)
5. Kertanagara (1272-1292)

Dengan memperhatikan silsilah dibawah ini , maka yang perlu Anda ketahui bahwa nama yang diberi nomor dan diberi kotak/dalam kotak itulah urutan raja-raja Singosari. Raja pertama sampai ketiga yang diberi tanda (*) mati dibunuh karena persoalan perebutan tahta dan balas dendam. Dari kelima raja Singosari tersebut, raja Kertanegaralah yang paling terkenal, karena dibawah pemerintahan Kertanegara Singosari mencapai puncak kebesarannya. Kertanegara bergelar Sri Maharajaderaja Sri Kertanegara mempunyai gagasan politik untuk memperluas wilayah kekuasaannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar