Jumat, 06 Mei 2011

SIRNA HILANG KERTANING BUMI


Mungkin belum banyak yang mengetahui bahwa bangsa Jawa dahulu kala memiliki tradisi kalender yang biasa disebut perhitungan kalender candra sengkala. Perhitungan itu berupa kata symbol yang bernilai angka tetap. Kalender inilah yang banyak berjasa menjelaskan berbagai peristiwa sejarah nusantara. Kali ini saya ingin mengungkapkan sebuah perhitungan Candra Sengkala yang menjelaskan kejatuhan kerajaan Majapahit, yaitu sengkala yang berbunyi, Sirna Hilang Kertaning Bumi. Sirna bermakna nol atau kosong, Hilang berarti nol, Kertaning berarti empat, Bumi bermakna satu. Maka dapat kita lihat ada angka 0041. Untuk membacanya kita harus membacanya dengan terbalik: 1400.Bila kita ingin mengetahui artinya dalam tahun masehi, maka kita harus menambahnya dengan angka 78. Sehingga kita mendapatkan angka 1478. Tahun 1478 merupakan puncak dari kejatuhan imperium Majapahit. Sengkala berasal dari kata “saka kala” (tahun saka) yang diberi imbuhan - an kemudian menjadi sengkalan. Sengkalan didefinisikan sebagai angka tahun yang dilambangkan dengan kalimat, gambar, atau ornamen tertentu. Bangsa barat menyebutnya sebagai kronogram. Penyebutan angka tahun mengunakan kalimat dimaksudkannya agar para generasi penerus mudah mengingat peristiwa yang telah terjadi pada tahun yang dimaksud. Jadi, sengkalan punya dua maksud : angka tahun, dan peristiwa apa yang terjadi tahun itu. suatu cara yang sangat cerdas warisan leluhur. Karena tahun Caka/Syaka/Saka menggunakan garis edar Matahari sebagai refererensi, maka suka disebut surya sengkala. Kalau tahun Jawa atau tahun Hijriyah, maka suka disebut candrasengkala karena menggunakan garis edar Bulan sebagai referensi (candra = Bulan). Para leluhur sudah menyusun aturan sedemikian rupa untuk menjadi pedoman bagaimana membuat suryasengkala. Karena sengkalan menggunakan kalimat sebagai angka, maka kata-kata tertentu punya “watak bilangan” atau “watak kata-kata” masing masing. Berikut adalah aturannya (diterjemahkan dari bahasa Kawi atau Jawa). · Angka 1 : benda yang jumlahnya hanya satu, benda yang berbentuk bulat, manusia. · Angka 2 : benda yang jumlahnya ada dua, misalnya tangan, mata, telinga. · Angka 3 : api atau benda berapi. · Angka 4 : air dan kata-kata yang artinya “membuat”. · Angka 5 : angin, raksasa, panah. · Angka 6 : rasa, serangga, kata-kata yang artinya “bergerak”. · Angka 7 : pendeta, gunung, kuda). · Angka 8 : gajah, binatang melata, brahmana. · Angka 9 : dewa, benda yang berlubang. · Angka 0 : hilang, tinggi, langit, kata-kata yang artinya “tidak ada”. Aturan lainnya adalah bahwa sengkalan punya sandi, yaitu kata terakhir di kalimat sengkalan menjadi angka urutan pertama, sedangkan kata pertama di kalimat sengkalan menjadi angka urutan terakhir pada tahun sengkalan. Mari kita analisis “Sirna Ilang Kertaning Bumi”. Bila dilihat watak kata-kata dan watak bilangannya, maka “sirna” = hilang = angka 0, “ilang = hilang” angka 0, “kertaning/kerta ning” = dibuat = pekerjaan membuat = angka 4, “bumi/bhumi” = bumi = angka 1. Analisis sengkalan ini harus didampingi buku buku kamus Jawa Kuno (Kawi) susunan Poerwadarminta, Wojowasito, atau Purwadi. Suryasengkala “Sirna Ilang Kertaning Bumi” = 0041, ingat aturan sandi sengkalan, maka tahun yang dimaksud dengan “Sirna Ilang Kertaning Bumi” adalah 1400 Caka atau 1478 M. Sengkalan “Sirna Ilang Kertaning Bumi” dimaksudkan pengarang Babad tanah Jawi untuk menggambarkan runtuhnya/hilangnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1400 Caka atau 1478 M. Ada yang menarik di sini : “Kertaning Bumi” Kerta/Karta = dibuat/dijadikan. Misalnya : Jayakarta = dibuat jaya/berhasil, Yogyakarta = dibuat baik (seyogyanya = sebaiknya). Maka, “kertaning Bumi” terbuka untuk ditafsirkan “dibuat (oleh) Bumi” atau “dibuat (di) Bumi”. Kata “ning” dalam bahasa Kawi bisa banyak punya arti sebagai kata depan atau kata pembuat kata kerja. Apakah “Sirna Ilang Kertaning Bumi” bisa ditafsirkan “Hilang Musnah Dibuat Bumi” ? kita bisa menduganya : bencana dari Bumi. Kaitkan ke Babad Pararaton, bencana itu adalah Pagunung Anyar alias erupsi gununglumpur. Kronik sejarah macam Babad Tanah Jawi, Babad Pararaton, Kunci sandi Sengkalan, dan geologi Delta Brantas kini dan dulu cukup kuat menunjuk bahwa bencana alam adalah faktor penting yang harus ditelusuri dalam Sandhyakala ning Majapahit - Senja Kala di Majapahit. Majapahit runtuh disebabkan banyak faktor salah satunya adalah situasi politik di tanah Jawa pada saat itu dan sirnanya semangat maritime di kalangan para pembesar (para adipati) yang berada dibawah naungan Majapahit. Arus yang datang dari luar selalu membawa perubahan sekaligus kepentingan yang termasuk di dalamnya adalah kepentingan niaga. Secara makna kalimat, Sirna Hilang Kertaning Bumi berarti sirna dan hilangnya kejayaan bumi. Ungkapan kalender tradisional ini, selain menjelaskan 1400 saka, juga memiliki keterangan sejarah. Ada keserasian antara makna waktu dengan histories kejatuhan Majapahit. Disinilah bedanya tradisi kalender Candra Sengkala dengan tradisi kalender lain. Memang setiap tradisi penanggalan berbeda dan masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. Hanya Candra Sengkala, saya lihat cukup menarik dan tidak patut kita lupakan begitu saja. Meskipun jaman sekarang sudah tidak digunakan lagi, tetapi minimal ada sebuah kesadaran dalam diri masyarakat nusantara bahwa Candra Sengkala merupakan refleksi dari tingginya peradaban masyarakat Jawa ratusan tahun silam. Tidak ada alasan untuk meremehkan masyarakat tradisional. Para leluhur kita jugalah yang merintis tata cara hidup yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, semisal gotong royong. Terbukti benar, sejak tahun Sirna Hilang Kertaning Bumi (1400 saka), kejayaan bangsa kita mulai luntur. Bangsa asing mulai mendominasi dan menguasai segala aspek. Sumberdaya alam kita dikuras dengan sedemikian rupa hingga menjadikan bangsa nusantara menjadi terjajah. Saat ini pun bangsa kita belum menjadi bangsa yang jaya sebagaimana kejayaan Majapahit. Kejayaan benar-benar sirna di bumi nusantara. Untuk kembali merebut kejayaan yang sirna itu, kita perlu kerja keras dan berusaha semaksimal mungkin bangkit dari kemunduran ini. Kita berdayakan potensi yang ada, memanfaatkan peluang pembangunan yang mengarah pada kemajuan dan meningkatkan aspek penguat sumberdaya manusia. Saya memandang, Indonesia baru bangkit berjaya jikalau muncul kembali trah Majapahit Untuk memastikan hal ini memang tidak gampang. Maka dari itu, semangatnya yang kita ambil. Majapahit tidak hanya kuat dalam hal sarana prasarana. Selain armada perangnya tangguh, Majapahit juga memiliki sarana dagang dan system pemerintahan yang kuat menopang kelangsungan pembangunan. Kalau di kemudian hari bangsa kita telah menjadi kuat, maka senantiasa waspada terhadap terulangnya sirna hilang kertaning bumi. Sebaliknya, kita mesti pertahankan gemah ripah loh jinawi; tata tentrem kerta raharja ketika kerajaan Majapahit berdiri sebagai bagian dari perjalanan bangsa Indonesia. Sejak didirikan Raden Wijaya yang bergelar Sri Rajasa Jayawardhana, kerajaan ini senantiasa diliputi fenomena pemberontakan Pewaris tahta Raden Wijaya, yakni masa pemerintahan Kalagemet/Jayanegara (1309-1328), yang dalam sebuah prasasti dianggap sebagai titisan Wisnu dengan Lencana negara Minadwaya (dua ekor ikan) dalam memerintah banyak menghadapi pemberontakan-pemberontakan terhadap Majapahit dari mereka yang masih setia kepada Kertarajasa. Bahkan salah satu penyebab kemunduran dan hancurnya kerajaan Majapahit adalah ketika meletusnya Perang Paragreg tahun 1401-1406 merupakan perang saudara memperebutkan kekuasaan, daerah bawahan mulai melepaskan diri dan berkembangnya Islam di daerah pesisirKerajaan Majapahit yang pernah mengalami masa keemasan dan kejayaan harus runtuh terpecah-pecah setelah kehilangan tokoh besar seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Tampaknya terjadi perang saudara (Perang Paregreg) pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Demikian pula telah terjadi pergantian raja yang dipertengkarkan pada tahun 1450-an, dan pemberontakan besar yang dilancarkan oleh seorang bangsawan pada tahun 1468. Berita-berita Cina, Italia, dan Portugis masih menyebutkan nama Majapahit di tahun 1499 tanpa menyebutkan nama rajanya. Semakin meluasnya pengaruh kerajaan kecil Demak di pesisir utara Jawa yang menganut agama Islam, merupakan salah satu penyebab runtuhnya kerajaan Majapahit. Tahun 1522 Majapahit tidak lagi disebut sebagai sebuah kerajaan melainkan hanya sebuah kota. Pemerintahan di Pulau Jawa telah beralih ke Demak di bawah kekuasaan Adipati Unus, anak Raden Patah, pendiri kerajaan Demak yang masih keturunan Bhre Kertabhumi. Ia menghancurkan Majapahit karena ingin membalas sakit hati neneknya yang pernah dikalahkan raja Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Demikianlah maka pada tahun 1478 hancurlah Majapahit sebagai sebuah kerajaan penguasa nusantara dan berubah satusnya sebagai daerah taklukan raja Demak. Berakhir pula rangkaian penguasaan raja-raja Hindu di Jawa Timur yang dimulai oleh Keng Angrok saat mendirikan kerajaan Singha-sari, digantikan oleh sebuah bentuk kerajaan baru bercorak agama Islam. Ironisnya, pertikaian keluarga dan dendam yang berkelanjutan menyebabkan ambruknya kerajaan ini, bukan disebabkan oleh serbuan dari bangsa lain yang menduduki Pulau Jawa. Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian, yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana. Akan tetapi, masih ada juga kerajaan-kerajaan yang meneruskan corak kehinduan Majapahit misalnya, yaitu Pajajaran yang akhirnya lenyap setelah ditundukkan oleh Sultan Yusuf dari Banten di tahun 1579, juga Balambangan yang di tahun 1639 baru bisa ditundukkan oleh Sultan Agung dari Mataram, disamping masyarakat di pegunungan tengger yang sampai saat ini masih mempertahankan corak Hindunya dengan memuja Brahma, dan Bali yang masih tetap dapat mempertahankan kebudayaan lamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar