Minggu, 20 Februari 2011

LAPORAN TENTANG DEWAN JENDRAL PADA SOEHARTO

Di sini perlu saya ungkapkan di muka Sidang Mahkamah Militer Tinggi ini agar persoalannya lebih jelas, Dua hari sebelum peristiwa tanggal 1 Oktober 1965, saya beserta keluarga mendatangi ke rumah keluarga Bapak Jendral Soeharto di rumah Jalan Haji Agus Salim yang waktu itu beliau masih menjabat sebagai Panglima KOSTRAD di samping acara kekeluargaan saya juga bermaksud:

"MENANYAKAN DENGAN ADANYA INFO DEWAN JENDRAL SEKALIGUS MELAPORKAN KEPADA BELIAU".

Oleh beliau sendiri justru memberi tahukan kepada saya: "BAHWA SEHARI SEBELUM SAYA DATANG KE RUMAH BELIAU,ADA SEORANG BEKAS ANAK BUAHNYA BERASAL DARI YOGYA- KARTA BERNAMA SUBAGYO, MEMBERI TAHUKAN TENTANG ADANYA INFO DEWAN JENDRAL AD YANG AKAN MENGADA- KAN COUP D'ETAT "TERHADAP KEKUASAAN PEMERINTAHAN PRESIDEN SUKARNO".

Tanggapan beliau akan diadakan penyelidikan. Oleh karena di tempat/ruangan tersebut banyak sekali tamu, maka pembicaraan dialihkan dalam soal-soal lain antara lain soal-soal rumah. Saya datang ke rumah Bapak Jendral Soeharto bersama isteri saya dan tamu isteri saya berasal dari Sala Ibu Kolonel Suyoto dan dalam perjamuan di ruangan beliau ada terdapat ibu Tien Soeharto, Orang tua suami isteri Ibu Tien, Tamu Ibu Tien Soeharto berasal dari Sala bernama Bapak Dul dan Ibu Dul juga termasuk putera bungsu laki-laki Bapak Jendral Soeharto yang kemudian harinya ketumpahan sup panas.

Selain dari pada itu sesuai dengan laporan dari seorang penulis bernama Brackman menulis tentang wawancara dengan Jendral Soeharto sesudah peristiwa 1 Oktober 1965 kira-kira pada tahun 1968. Diterangkan bahwa dua hari sebelum 1 Oktober 1965 demikian kata Jendral Soeharto: Anak laki-laki kami yang berusia 3 tahun mendapat kecelakaan di rumah, ia ketumpahan sup panas dan cepat-cepat dibawa ke rumah sakit.

Banyak kawan-kawan datang menjenguk anak saya di malam tanggal 30 september 1965 saya juga berada di situ. Lucu juga kalau diingat kembali. Saya ingat Kolonel Latief datang ke rumah sakit malam itu untuk menanyakan kesehatan anak saya. Saya terharu atas keprihatinannya. Ternyata kemudian Latief adalah orang penting dalam Coup yang kemudian terjadi. Kini menjadi jelas bagi saya bahwa Latief ke rumah sakit malam itu bukanlah untuk menengok anak saya, melainkan sebenarnya untuk mengecek saya. Rupanya ia hendak membuktikan kebenaran berita sekitar sakitnya anak saya dan memastikan bahwa saya akan terlampau prihatin dengan keadaan anak-anak saya. Saya diam di rumah sakit sampai menjelang tengah malam dan kemudian pulang ke rumah.

Ada lagi sebuah wawancara dari surat kabar Der Spiegel Jerman Barat pada bulanJuni 1970 yang menanyakan bagaimana Soeharto tidak termasuk daftarJendral-jendral yang harus dibunuh, Soeharto menjawab: "Kira-kira jam 11 malam itu Kolonel Latief dari komplotan putsch datang ke rumah sakit untuk membunuh saya, tapi nampaknya ia tidak melaksanakan berhubung kekhawatirannya melakukan di tempat umum.

Dari dua versi keterangan tersebut di atas yang saling bertentangan satu sama lain, yaitu yang satu hanya mencek dan yang satu untuk membunuh, saya kira Hakim Ketua sudah bisa menilai dari kedua keterangan tersebut dan akan timbul pertanyaan tentunya:"mengapa Latief datang pada saat yang sepenting itu? Mungkinkah Latief akan membunuh Jendral Soeharto pada malam itu?"

Mungkinkah saya akan berniat jahat kepada orang yang saya hormati saya kenal semenjak dahulu yang pernah menjadi Komandan saya? Logisnya seandainya benar saya berniat untuk membunuh Bapak Jendral Soeharto,pasti perbuatan saya itu adalah merupakan suatu blunder yang akan menggagalkan gerakan tanggal 1 Oktober 1965 itu.

Dari dua versi keterangan tersebut di atas menunjukkan bahwa BapakJendral Soeharto berdalih untuk menghindari tanggungjawabnya dan kebingungan. Yang sebenarnya bahwa saya pada malam itu di samping memang menengok putranda yang sedang terkena musibah sekaligus untuk melaporkan akan adanya gerakan pada besok pagi harinya untuk menggagalkan rencana Coup D'etat dari Dewan Jendral di mana beliau sudah tahu sebelumnya.

Memang saya berpendapat, bahwa satu-satunya adalah beliaulah yang saya anggap loyal terhadap kepemimpinan Presiden Sukarno dan saya kenal semenjak dari Yogyakarta siapa sebenarnya Bapak Jendral Soeharto itu. Saya datang adalah atas persetujuan Brigjen Soeparjo sendiri bersama-sama Letkol Untung sewaktu menemui saya pada malam tanggal 1 Oktober 1965 kira-kira jam 21.00 atau lebih di rumah saya dengan tujuan sewaktu-waktu akan minta bantuan dari beliau. Karena itulah saya berkepentingan untuk datang kepada beliau. Letkol Untung pun adalah anak buah beliau semenjak di Jawa Tengah dan yang terpilih sebagai Pasukan penggempur (Raiders) yang kemudian terpilih diterjunkan di Irian Barat sehingga untuk mendapatkan bintang yang tertinggi. Hanya saja Untung tidak seberani seperti saya untuk menghadap atau menemui Bapak Jendral Soeharto, sedianya waktu itu ketiga orang tersebut saya ajak serta, tetapi kemudian beliau-beliau menyerahkan kepercayaannya kepada saya dan dikarenakan ada tugas lain.

Saya sebagai anak buah sekalipun sudah terlepas dalam ikatan komando dengan Bapak Jendral Soeharto di manapun beliau berada selalu saya temui. Dengan sendirinya timbul keakraban secara kekeluargaan di luar dinas. Saya mempercayai kepemimpinan beliau seandainya berhasil dapat menggagalkan usaha Coup Dewan Jendral beliaulah yang terpilih sebagai tapuk pimpinan sebagai pembantu setia Presiden Sukarno.Akan tetapi situasi cepat berubah yang tidak bisa saya jangkau pada waktu itu. Beliau yang kami harapkan akan menjadi pembantu setia Presiden/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi Bung Karno menjadi berubah memusuhinya.

Mengapa saya dan teman-teman saya terutama yang berasal dari Jawa Tengah mempercayai Jendral Soeharto, sbb:

"Memang saya pribadi adalah bekas anak buah beliau sewaktu menjabat sebagai Dan Kie 100 yang langsung organisatoris dan taktis pada Brigade X pada waktu jaman gerilya. Letkol.Untung pun juga pernah menjadi anak buah langsung sewaktu di daerah Korem Sala yang kemudian Let.Kol.Untung terpilih sebagai salah seorang pimpinan Gerilyawan yang diterjunkan di Kaimana sewaktu Trikora. Pernah saya dengar dari pembicaraan Let.Kol. Untung sendiri sewaktu selesai tugas Trikora ia dipindahkan ke Resimen Cakrabirawa, ia katakan dengan peristiwa itu Jendral Soeharto pernah marah-marah atas kepindahannya ke Men Cakra itu, karena ia akan ditarik sebagai pasukan Kostrad di bawah pimpinan beliau. Selain itu sewaktu Let.Kol. Untung menjadi temanten di Kebumen Jendral Soeharto juga memerlukan datang untok turut merayakan pesta perkawinan.

"Dengan saya pun demikian, secara dinas menurut perasaan saya bahwa saya selalu mendapat kepercayaan. Sewaktu masa Gerilya di Yogyakarta sering saya mendapatkan perintah-perintah penting untuk menggempur kedudukan musuh tentara Belanda dengan menggabungkan pasukan lain (Brimob) di bawah pimpinan saya. Kemudian pada penyerangan total kota Yogyakarta yang terkenal enam jam di Yogyakarta, pasukan saya mendapat kepercayaan untuk menduduki daerah sepanjang Malioboro mulai dari Setasiun Tugu sampai Pasar Besar Yogyakarta dan beliau sendiri mengikuti pasukan saya yang terletak di daerah Kuncen atau desa Sudagaran yang hanya terletak 500 m dari batas kota Yogyakarta itu (daerah Demakijo). Hal tersebut setelah saya dapat lolos dari kepungan tentara Belanda yang sedang mengadakan counter offensif dan saya dapat mundur kembali keluar kota dengan meninggalkan korban 12 luka-luka, 2 gugur dan 50 orang pemuda-pemuda gerilya kota di bawah pimpinan saya mati terbunuh oleh pembersihan tentara belanda, pemuda-pemuda tersebut yang sekarang dimakamkan atau dengan nama MAKAM TAK BERNAMA di daerah BALOKAN di depan Setasian Tugu Yogyakarta. Kira-kira pada jam 12.00 siang hari bertamulah saya pada Komandan Wehrkraise Let.Kol.Soeharto di Markas rumah yang saya tempati sebagai Markas Gerilya, yang sewaktu itu beliau sedang menikmati makan soto babat bersama-sama pengawal dan ajudannya. Kami segera melaporkan atas tugas kewajiban saya.

Kemudian beliau masih memerintahkan lagi supaya menggempur pasukan Belanda yang sedang berada di kuburan Kumoan Yogyakarta yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari Markas gerilya saya itu, akhirnya beliau segera kembali ke Markas Besarnya. Hanya saja sayang dalam sejarah yang sering ditulis dalam peringatan penyerbuan ibu kota Yogyakarta pada 1 Maret hanya ditulis "Bahwa Jendral Soeharto dalam memimpin serangan pada tgl. 1 Maret di Yogyakarta mengikuti salah satu pasukan."Di sinilah pentingnya saya ungkapkan demi untuk melengkapi sejarah dengan ceritera yang sebenarnya. Bagi saya tidak ada ambisi untuk menonjol-nonjolkan agar ditulis dalam sejarah, sekalipun saya sendiri semenjak revolusi Agustus 1945 ikut secara phisik melucuti Jepang menggempur tentara Sekutu dan Belanda sebagai seorang pejuang kemerdekaan. Di Jawa Timur Surabaya. Bagi saya tidak ada artinya karena bukanlah orang penting dan orang besar. Yang penting bagi ahli-ahli sejarah harus teliti menyelidiki dalam tulisan-tulisan sejarah yang tepat.

Sesudah Clash ke II saya merasa selalu mendapat kepercayaan dari Jendral Soeharto yang waktu itu sebagai komandan saya untuk memimpin pasukan-pasukan pada saat yang sulit. Sampai pada saat TRIKORA pun sekalipun saya secara organisatoris terlepas dari komandonya masih dicari untuk memimpin pasukan penerjun (para) Task force II ke Irian Barat dan yang dintus waktu itu adalah staf beliau let.Kol.Mardanus sekarang anggauta MPR/DPR. Mengingat pada waktu itu saya sendiri mendapat perintah harus menempah Sekolah Staf Komando (SESKOAD II), maka perintah untuk tugas Irian Barat dibatalkan. Kemudian pada tahun 1965 kira-kira bulan Juni tepat pada hari ulang tahun CPM (Corp Polisi Militer) Jenderal Soeharto telah menemui Pangdam V Jaya Jendral Umar Wirahadikusumah dengan maksud meminta diri saya untuk ditugaskan sebagai Komandan Task Force di Kalimantan Timur.

Singkatnya oleh Jendral Umar permintaan tersebut ditolak dengan alasan karena tenaga saya dibutuLkan untuk tugas keamanan di Ibu Kota RI Kodam V Jaya. Keterangan ini saya dapat dari Pangdam Jendral sendiri diberitahukan tentang hal itu. Jendral Umar menyatakan:"Bahwa tugas untuk menjaga keamanan di Ibu Kota RI tidak kalah pentingnya dengan tugas di garis depan, sebab disini terletak pemimpin-pemimpin negara terutama Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno jadi secara strategis adalah penting sekali, sedangkan bila di garis depan hanya mempunyai arti "taktis". Atas dasar penjelasan itulah sayapun sadar dan bersemangat karena panglima saya benar-benar setia kepada Pemimpin Besar revolusi sependirian dengan saya. Sekalipun saya sendiri waktu itu mengusulkan agar diijinkan berangkat bertugas dengan maksud untuk mencari pengalaman dalam perang modern, mentrapkan theori yang saya hasilkan dari sesudah sekolah SESKOAD II. Selanjutnya kira-kira pada permulaan bulanAgustus saya pun pernah menghadap Jendral Soeharto ke rumah datang atas dasar kekeluargaan biasa, antara lain juga memberitahukan seperti yang saya terangkan tersebut di atas dan kemungkinan akan diajukan ke atasan agar saya bisa bertugas.

Mengenai kekeluargaan di luar dinas pun saya mempunyai keakraban semenjak diJawaTengah, sekalipun beliau sudah terlepas dari komando saya tetap sering saya datangi. Kebiasaan Perwira- perwira bawahan yang sejajar dengan saya (komandan-komandan Batalyon) jarang datang ketempat beliau, terkecuali saya, kata teman- teman saya itu banyak yang merasa segan karena Jendral Soeharto dianggap terlalu seram. Penilaian saya tidak.

Sebagai bukti lagi sewaktu beliau mengkhitankan puteranya bernama Sigit keluarga saya pun datang adapun Ibunya tak dapat datang karena Ibu saya sedang sakit keras di Surabaya. Sebaliknya pada waktu saya mengkhitankan anak saya beliau dengan Ibu Tien juga datang ke rumah saya.Jadi kesimpulan saya denganJendral Soeharto sekeluarga tidak mempunyai persoalan apapun malahan mempunyai hubungan secara akrab.

Misalnya: saya pernah mengusahakan agar beliau bisa membangun rumah yang agak besar sedikit, karena yang saya lihat rumah beliau terlampau kecil. Karena itu saya pernah mengusahakan tanah lewat bagian kaveling DKI dan kemudian mendapatkan di daerah Rawamangun. Di samping itu sewaktu saya pernah mendapat rumah di jalan Jambu bekas Kedutaan Inggeris yang kebetulan rumah itu besar, saya berkeinginan untuk mem- berikan rumah itu untuk ditempati oleh Jendral Soeharto sekeluarga dan saya menempati rumah beliau yang kecil. Dalam soal inilah antara lain yang pernah saya bicarakan di rumah beliau dua hari sebelum peristiwa.